Minggu, 30 Mei 2010

Idiopathic Thrombocytopenic Purpura (ITP)


Patogenesis penyebaran epitop pada ITP


megatrombosit pada morfologi darah tepi


Gambaran sumsum tulang memperlihatkan megakariosit


Definisi
Idiopathic Thrombocytopenic Purpura (ITP) merupakan kelainan autoimun akibat adanya pengikatan trombosit oleh autoantibodi sehingga menyebabkan destruksi trombosit secara dini oleh sistem retikuloendotelium yang mengakibatkan trombositopenia (Purwanto, 2009).

Etiologi
Bukti-bukti ilmiah yang ditemukan saat ini menunjukkan bahwa ITP terjadi karena destruksi trombosit oleh proses imunologi (autoimun) yang mengakibatkan penurunan jumlah trombosit (trombositopenia) (Lee & Wintrobe, 1993). Adanya trombositopenia ini dapat mengakibatkan terganggunya sistem hemostatis, karena trombosit merupakan komponen yang berperan penting dalam hemostatis yang bekerjasama dengan faktor-faktor koagulasi lainnya di dalam vaskular (Guyton, 2008).

Patogenesis
Pada mulanya glikoprotein IIb/IIIa yang terdapat pada membran trombosit yang dianggap sebagai antigen oleh autoantibodi (IgG) akan diopsonisasi, namun pada tahap ini belum ada antibodi yang mengenali glikoprotein lainnya seperti Ib/IX. Trombosit yang telah dilingkupi oleh autoantibodi ini akan berikatan dengan sel penyaji antigen (APC) misalnya makrofag atau sel dendritik pada reseptor Fcɤ dan mengalami internalisasi dan degradasi. Selain merusak glikoprotein IIb/IIIb, APC juga akan memproduksi epitop kriptik dari glikoprotein trombosit lainnya. APC yang teraktivasi akan mengekspresikan peptida baru pada permukaan selnya dengan bantuan konstimulasi (interaksi antara CD 154 dan CD 40) dan sitokin yang fungsinya memfasilitasi proliferasi inisiasi CD4+ T Cell clone (T-Cell clone-1) dan spesifitas tambahan (T-Cell clone-2). Sel B sebagai reseptor sel immunoglobulin, selain meningkatkan produksi antiglikoprotein IIb/IIIa antibodi (oleh B-Cell clone-1) juga akan menginduksi proliferasi dan sintesis antiglikoprotein Ib/IX antibodi (oleh B-Cell clone-2) (Purwanto, 2009).

Klasifikasi
1. ITP Akut
ITP akut lebih sering diderita oleh anak-anak dibandingkan orang dewasa. Onset penyakit biasanya mendadak. Pada anak-anak penderita ITP juga ditemukan eksantem dan penyakit saluran nafas oleh virus yang mengawali terjadinya perdarahan berulang. Selain itu ITP akut biasanya bersifat self limiting (Purwanto, 2009).
2. ITP Kronis
Pada ITP kronis yang biasanya diderita oleh orang dewasa memiliki onset penyakit yang tidak menentu dengan riwayat perdarahan mulai dari ringan hingga berat. Infeksi dan perbesaran lien jarang terjadi. Perjalanan klinis pada ITP kronis bersifat fluktuatif (Purwanto, 2009). ITP kronis lebih sering terjadi dengan insidensi tertinggi pada wanita dengan usia antara 15-50 tahun (Hoffbrand, 2005).

Manifestasi Klinis
Berat dan frekuensi perdarahan berkorelasi dengan jumlah trombosit (Purwanto, 2009).
1. AT > 50.000/mL, biasanya asimtomatik.
2. AT 30.000-50.000/mL, biasanya terdapat luka memar/hematom.
3. AT 10.000-30.000/mL, terdapat perdarahan spontan, menoragia, dan perdarahan memanjang apabila ada luka.
4. AT < 10.000/mL, terjadi perdarahan mukosa seperti epistaksis, perdarahan gastrointestinal, dan genitourinaria

Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan darah rutin
Pada pemeriksaan darah rutin sering terjadi penurunan jumlah trombosit (trombositopenia) antara 10.000 – 50.000/mmk (Bakta, 2007).
2. Morfologi darah tepi
Pemeriksaan pada darah tepi sering ditemukan gambaran trombosit berukuran besar (megatrombosit)
3. Pemeriksaan sumsum tulang
Pada sumsum tulang dijumpai peningkatan jumlah megakariosit imatur dan agranuler yang tidak mengandung trombosit
4. Uji penapisan koagulasi
Pada uji penapisan koagulasi ditemukan masa perdarahan (bleeding time) memanjang, tetapi masa pembekuan (clotting time), activated partial thromboplastin time (APTT), dan plasma prothrombin time (PPT) normal (Alpers, 2007; Latief 2005)
5. Pemeriksaan imunologi
Pada pemeriksaan imunologi dapat pula ditemukan adanya antiplatelet IgG pada permukaan trombosit atau dalam serum, yang lebih spesifik yaitu antibodi terhadap Gp IIb/IIIa dan Gp Ib (Bakta,2007)

Penatalaksanaan
1. Terapi awal (standar)
a. Kortikosteroid (Prednison)
Pemberian prednison (atau prednisolon) dengan dosis 1-1,5 mg/kgBB/hari selama 2 minggu. Kriteria respon awalnya adalah peningkatan AT ≥ 30.000/µL, AT ≥ 50.000/µL setelah terapi 10 hari, atau berhentinya perdarahan.
b. Immunoglobulin intravena (IgIV)
IgIV diberikan dengan dosis 1 g/kg/hari selama 2-3 hari berturut-turut apabila terdapat perdarahan internal, saat AT < 5.000/µL setelah pemberian kortikosteroid, atau adanya purpura yang progresif.
c. Splenektomi
Tujuan splenektomi adalah menghilangkan tempat antibody yang merusak trombosit dan menghilangkan produksi antibodi antitrombosit. Splenektomi dilakukan apabila terjadi kegagalan respon kortikosteroid dengan indikasi yaitu:
1. Bila AT < 5.000/µL setelah 4 minggu setelah terapi.
2. AT tidak menjadi normal setelah 6-8 minggu terapi.
3. AT normal tetapi menurun bila dosis dikurangi (tapering off).

2. Terapi lini kedua
a. Steroid dosis tinggi
Dapat digunakan deksametason dengan dosis 40 mg/hari diulang tiap 28 hari untuk 6 siklus. Respon yang baik akan meningkatkan AT > 100.000/µL.
b. Metilprednisolon
Metilprednisolon dosis tinggi dapat diberikan pada pasien yang resisten terhadap terapi prednison dosis konvensional. Metilprednisolon diberikan secara intravena dengan dosis 30 mg/hari. Dosis diturunkan tiap 3 hari sampai dosis 1 mg/hari.
c. IgIV dosis tinggi
Immunoglobulin diberikan secara intravena dengan dosis 1 mg/kg/hari selama 2 hari berturut-turut.
d. Anti-D intravena
Dosis anti-D yaitu 50-75 µg/kg/hari dan diberikan secara intravena. Mekanisme kerjanya yaitu bersaing dengan autoantibodi dengan cara memblokade Fc reseptor.
e. Alkaloid vinka
Misalnya pemberian vinblastin dengan dosis 5-10 mg atau Vinkristin dosis 1-2 mg secara intravena setiap minggu selama 4-6 minggu.
f. Danazol
Danazol memiliki respon yang lambat dan diberikan dengan dosis 200 mg p.o 4x sehari selama sedikitnya 6 bulan. Apabila respon baik, pemberian diteruskan hingga dosis maksimal selama 1 tahun dan diturunkan 200 mg/hari setiap 4 bulan.
g. Imunosupresif dan kemoterapi kombinasi
Imunosupresif diberikan pada pasien yang gagal merespon terapi lainnya. Siklofosfamid 50-100 mg p.o atau 200 mg i.v per bulan atau azathioprin 50-100 mg p.o dapat digunakan sebagi terapi tunggal selama 3 bulan. Untuk terapi kombinasi dapat menggunakan siklofosfamid, vinkristin, dan prednisolon.
h. Dapsone
Dapsone dengan dosis 75 mg p.o per hari. Respon terjadi dalam 2 bulan.

DAFTAR PUSTAKA
Alpers, A. et al., 2006. Buku Ajar Pediatri Rudolph Vol.2 (edisi 20). A. Samik wahab et al. (Alih Bahasa), EGC, Jakarta.
Bakta, I Made, 2007. Hematologi Klinik Ringkas. EGC, Jakarta.
Behrman, R.E. et al, 2004. Nelson Textbook of Pediatrics. Elsevier Science, Philadelphia.
Guyton, A.C., Hall, J.E., 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran (edisi 11). Irawati et al (Alih Bahasa), EGC, Jakarta.
Gernsheimer, Therry. Chronic Idiopathic Thrombocytopenic Purpura: Mechanisms of Pathogenesis, The Oncologist.2009;14:12-21.
Hoffbrand, A.V. et al, 2005. Kapita Selekta Hematologi. Lyana Setiawan (Alih Bahasa), EGC, Jakarta.
Latief, Abdul et al, 2005. Ilmu Kesehatan Anak Jilid 1. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Lee, G.R., Wintrobe, M.M., 1993. Wintrobe’s Clinical Hematology (9th ed). Lea & Febiger, Philadelphia.
Purwanto, Ibnu, 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 2. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Uchiyama, Michihiro et al. Acute Idiopathic Thrombocytopenic Purpura Complicated with Diffuse Alveolar Hemorrhage in an Elderly Patient, Internal Medicine.2009;48:1449-1452.